Ayo kita Bermajelis

Jumat, 22 April 2011


Hubungan Setelah Pertunangan

Submitted by forsan salaf on Wednesday, 14 October 2009One Comment
cincin tunanganAssalamualaikum.
Ustd ana mau tanya apakah ada pendapat baru tentang hukum-hukum yang memperbolehkan seseorang yang sudah bertunangan untuk melakukan komunikasi seperti tlpon, sms tanpa ada kebutuhan dan menemui si calon ketika ingin bertemu, soalnya kemarin ana mendengar dari seorang teman yang mengatakan bahwasannya ada sebuah kitab yang berpendapat lain yaitu memperbolehkan hal tersebut untuk dilakukan bagi seorang yang sudah bertunangan.tapi ana tidak tahu apa nama kitabnya.af1 syukron
Wassalamualaikum.
FORSAN SALAF menjawab :

Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Seseorang yang akan melakukan pertunangan, disunnahkan untuk ta’aruf antara calon suami-istri dengan melihat wajah dan kedua telapak tangan calon istri sekedarnya. Dan diperbolehkan untuk diulang-ulangi jika belum mantap. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi kekecewaan kelak setelah menikah. Adapunseperti melakukan pertemuan atau berbicara melalui telepon untuk kepentingan syahwat, maka haram. Jawaban lebih terperinci bisa Anda lihat dari jawaban kami pada konsultasi bertema Tunangan saja belum cukup
Kami sarankan kepada Anda untuk tidak gampang menerima fatwa agama dari segala orang, kecuali dari ulama’ yang sholeh atau dari kitab yang berazaskan paham ahlussunnah wal jamaah.

روضة الطالبين وعمدة المفتين – (ج 2 / ص 455)

فرع إذا رغب في نكاحها استحب أن ينظر إليها لئلا يندم وفي وجه لا يستحب هذا النظر بل هو مباح والصحيح الأول للأحاديث ويجوز تكرير هذا النظر ليتبين هيئتها وسواء النظر بإذنها وبغير إذنها فإن لم يتيسر النظر بعث امرأة تتأملها وتصفها له والمرأة أيضاً تنظر إلى الرجل إذا أرادت تزوجه فإنه يعجبها منه ما يعجبه منها ثم المنظور إليه الوجه والكفان ظهرا وبطنا ولا ينظر إلى غير ذلك وحكى الحناطي وجهين في المفصل الذي بين الكف والمعصم وفي شرح مختصر الجويني وجه أنه ينظر إليها نظر الرجل إلى الرجل والصحيح الأول قال الإمام ويباح هذا النظر وإن خاف الفتنة لغرض التزوج ووقت هذا النظر بعد العزم على نكاحها وقبل الخطبة لئلا يتركها بعد الخطبة فيؤذيها هذا هو الصحيح وقيل ينظر حين تأذن في عقد النكاح وقيل عند ركون كل واحد منهما إلى صاحبه وذلك حين تحرم الخطبة على الخطبة قلت وإذا نظر فلم تعجبه فليسكت ولا يقل لا أريدها لأنه إيذاء و الله أعلم.

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 299)

(قوله: فينظر من الحرة وجهها الخ) أي ولو بشهوة أو خوف فتنة، كما قاله الامام والروياني، وإن قال الاذرعي في جواز نظره بشهوة نظر، والمعتمد الجواز، ولو بشهوة، وله تكريره إن احتاج إليه، ولو فوق الثلاث، حتى يتبين له هيئتها، فإن لم يحتج إليه لكونه تبين له هيئتها بنظرة حرم ما زاد عليها، لان الضابط في ذلك الحاجة

Kamis, 21 April 2011

Hukum Nikah Via Video Call Atau 3G



Diantara syarat-syarat nikah adalah hadirnya dua saksi laki-laki yang adil, berakal, baligh, mendengar dan melihat prosesi akad (ijab dan qabul). Adapun menyaksikan lewat layar dan mendengarkan lewat telepon tidak disebut hadir. Oleh karena itu, menyaksikan lewat video call, 3G atau yang sejenisnya tidak sah.Tujuan syari’at mensyaratkan hadirnya dua saksi  secara fisik adalah untuk lebih berhati-hati dan menghindari adanya rekayasa dalam pernikahan, sebab masalah nikah terkait erat dengan hukum halal-haramnya seorang perempuan bagi laki-laki, agar tidak terjerumus ke lembah perzinaan. Disamping itu, juga untuk menjaga ikatan pernikahan dari kemungkinan terjadinya ingkar dari pihak suami maupun istri.
Referensi :
  1. 1. Hasyiah Bujairomi ala Khotib/ III/285-287
  2. 2. Tuhfatul Muhtaj /VII /227

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 286)

وَمِمَّا تَرَكَهُ مِنْ شُرُوطِ الشَّاهِدَيْنِ السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَلَوْ مَعَ النِّسْيَانِ عَنْ قُرْبٍ وَمَعْرِفَةِ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ قَوْلُهُ : ( وَالضَّبْطُ ) أَيْ لِأَلْفَاظِ وَلِيِّ الزَّوْجَةِ وَالزَّوْجِ ، فَلَا يَكْفِي سَمَاعُ أَلْفَاظِهِمَا فِي ظُلْمَةٍ ؛ لِأَنَّ الْأَصْوَاتَ تَشْتَبِهُ وَيَنْبَغِي لِلشَّاهِدَيْنِ ضَبْطُ سَاعَةِ الْعَقْدِ لِأَجْلِ لُحُوقِ الْوَلَدِ .

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 287)

وَيُشْتَرَطُ فِي كُلٍّ مِنْ الشَّاهِدَيْنِ أَيْضًا السَّمْعُ وَالْبَصَرُ وَالضَّبْطُ وَمَعْرِفَةُ لِسَانِ الْمُتَعَاقِدَيْنِ وَكَوْنُهُ غَيْرَ مُتَعَيَّنٍ لِلْوِلَايَةِ وَأَشْيَاءٌ أُخَرُ . وَلَا يُشْتَرَطُ مَعْرِفَةُ الشُّهُودِ لِلزَّوْجَةِ وَلَا أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ بِنْتُ فُلَانٍ بَلْ الْوَاجِبُ عَلَيْهِمْ الْحُضُورُ ، وَتُحْمَلُ الشَّهَادَةُ عَلَى صُورَةِ الْعَقْدِ حَتَّى إذَا دُعُوا لِأَدَاءِ الشَّهَادَةِ لَمْ يَحِلَّ لَهُمْ أَنْ يَشْهَدُوا أَنَّ الْمَنْكُوحَةَ بِنْتُ فُلَانٍ بَلْ يَشْهَدُونَ عَلَى جَرَيَانِ الْعَقْدِ كَمَا قَالَهُ الْقَاضِي حُسَيْنٌ ؛ كَذَا بِخَطِّ شَيْخِنَا الزِّيَادِيِّ شَوْبَرِيٌّ ، وَهُوَ تَابِعٌ لِابْنِ حَجَرٍ .

تحفة المحتاج في شرح المنهاج  – (ج 7 / ص 227)

( وَلَا يَصِحُّ ) النِّكَاحُ ( إلَّا بِحَضْرَةِ شَاهِدَيْنِ ) قَصْدًا أَوْ اتِّفَاقًا بِأَنْ يَسْمَعَا الْإِيجَابَ وَالْقَبُولَ أَيْ الْوَاجِبَ مِنْهُمَا الْمُتَوَقِّفَ عَلَيْهِ صِحَّةُ الْعَقْدِ لَا نَحْوَ ذِكْرِ الْمَهْرِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِلْخَبَرِ الصَّحِيحِ { لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ } الْحَدِيثَ وَالْمَعْنَى فِيهِ الِاحْتِيَاطُ لِلْأَبْضَاعِ وَصِيَانَةُ الْأَنْكِحَةِ عَنْ الْجُحُودِ وَيُسَنُّ إحْضَارُ جَمْعٍ مِنْ أَهْلِ الصَّلَاحِ

حاشية البجيرمي على الخطيب – (ج 3 / ص 285)

( وَلَا يَصِحُّ عَقْدُ النِّكَاحِ إلَّا بِوَلِيٍّ ) أَوْ مَأْذُونِهِ أَوْ الْقَائِمِ مُقَامَهُ كَالْحَاكِمِ عِنْدَ فَقْدِهِ أَوْ غَيْبَتِهِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْ عَضْلِهِ أَوْ إحْرَامِهِ ( وَ ) حُضُورِ ( شَاهِدَيْ عَدْلٍ ) لِخَبَرِ ابْنِ حِبَّانَ فِي صَحِيحِهِ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهَا : { لَا نِكَاحَ إلَّا بِوَلِيٍّ وَشَاهِدَيْ عَدْلٍ ، وَمَا كَانَ مِنْ نِكَاحٍ عَلَى غَيْرِ ذَلِكَ فَهُوَ بَاطِلٌ ، فَإِنْ تَشَاحُّوا فَالسُّلْطَانُ وَلِيُّ مَنْ لَا وَلِيَّ لَهُ } وَالْمَعْنَى فِي إحْضَارِ الشَّاهِدَيْنِ الِاحْتِيَاطُ لِلْأَبْضَاعِ وَصِيَانَةُ الْأَنْكِحَةِ عَنْ الْجُحُودِ . وَيُسَنُّ إحْضَارُ جَمْعٍ زِيَادَةً عَلَى الشَّاهِدَيْنِ مِنْ أَهْلِ الْخَيْرِ وَالدِّينِ .

BAB TENTANG NIKAH

Pernikahan Dibawah Umur

Submitted by forsan salaf on Sunday, 28 February 201058 Comments
pernikahan diniass.wr.wb
saya ada pertanyaan yang mengganjal di pikiran ini ustadz
1. bagaimana menikahkan seorang bayi yang tentunya belum bisa mengucapkan akad nikah, bolehkah diwakilkan ?
2.bagaimana lafad yang diucapkan si pewakil?
atas jaawabannya saya ucapkan terimakasih.
FORSAN SALAF menjawab :

Wa’alaikum salam Wr. Wb.
Menikahkan bayi perempuan harus memenuhi persyaratan berikut [1] :
  • Walinya mujbir (ayah atau kakek dari ayah).
  • Bayi perempuan masih gadis/perawan.
  • Dinikahkan dengan laki-laki yang sekufu’ (sederajat).
Apabila bukan wali mujbir seperti saudara laki-laki, atau si perempuan (bayi) tidak perawan, atau dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu’, maka pernikahannya tidak sah.
Manikahkan bayi laki-laki, harus memenuhi persyaratan berikut [2] :
  • Walinya harus ayah atau kakek dari ayah (waliyul maal).
  • Walinya harus adil (bukan fasik).
  • Untuk kemaslahatan si bayi, seperti perawatan.
  • Wali perempuan yang dinikahkan dengannya adalah adil.
  • Pernikahan dihadiri dua saksi yang memenuhi syarat.
Jika tidak terpenuhi salah satu persyaratan di atas, maka pernikahannya tidak sah.
Wali nikah perempuan ada dua, yaitu :
  1. Wali mujbir (ayah atau kakek dari ayah), adalah wali yang berhak menikahkan seorang perempuan sekalipun tanpa seizinnya, sebagaimana yang telah dilakukan oleh syd Abu Bakar ketika menikahkan putrinya sydh Aisyah yang masih berusia 6 atau 7 tahun dengan Rasulullah SAW. Wali mujbir disyaratkan wanita yang dikawinkan masih gadis (perawan).
  2. Wali ghoiru mujbir, adalah wali yang tidak berhak menikahkan seorang perempuan kecuali atas izin darinya. Yaitu : saudara laki-laki sekandung, kemudian saudara laki-laki seayah, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki sekandung, kemudian anak laki-laki dari saudara laki-laki seayah, kemuadian paman (saudara ayah sekandung), kemudian paman (saudara ayah seayah), kemudian anak laki-laki paman (saudara ayah sekandung), kemudian anak laki-laki paman (saudara ayah seayah). Begitu juga ayah dan kakek dari ayah jika si perempuan sudah janda (yang hilang kegadisannya walaupun dengan cara yang tidak halal). Urutan di atas harus mendahulukan ayah kemudian kakek (ayahnya ayah), dst.
Taukil (mewakilkan), diperbolehkan (sah) dengan syarat dari orang yang sudah baligh. Melaksanakan nikah (menikahkan atau menerima nikah), juga disyaratkan setelah baligh. Berarti, anak kecil tidak dapat menjadi wali atau mewakilkan atau menikahkan sendiri, atau menerima nikah. Oleh karena itu, yang menerima adalah walinya sebagaimana diterangkan di atas. [3].
Lafdh yang diucapkan oleh muwakkil /wali yang mewakilkan (sighot taukil), harus mengisyaratkan pemberian izin untuk menikahkan anak perempuannya atau yang ia menjadi walinya sekalipun bukan dengan bahasa arab, namun bisa dipahami maknanya.
Contoh sighat taukil dalam bahasa arab :

وَكَّلْتُكَ وَأَذِنْتُ لَكَ فِي تَزْوِيْجِ وَإِنْكَاحِ بِنْتِي………. فُلَانًا بِنْ فُلَان بِمَهْرِ ………. رُوْبِيَّةْ عُمْلَةْ إِنْدُوْنِيْسِيَّا حَالًّا

Saya wakilkan dan saya izini kepadamu untuk menikahkan anak perempuannku ……… dengan laki-laki bernama ………  dengan mas kawin uang sebesar ………. rupiah dibayar tunai.

[1] المجموع – (16 / 165)

(فصل) ويجوز للاب والجد تزويج البكر من غير رضاها صغيرة كانت أو كبيرة: لما روى ابن عباس رضى الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال (الثيب أحق بنفسها من وليها والبكر يستأمرها أبوها في نفسها) فدل على أن الولى  أحق بالبكر وإن كانت بالغة

حاشيتا قليوبي – وعميرة – (ج 11 / ص 177)

( وَلِلْأَبِ تَزْوِيجُ الْبِكْرِ صَغِيرَةً ، وَكَبِيرَةً بِغَيْرِ إذْنِهَا ) لِكَمَالِ شَفَقَتِهِ ، ( وَيُسْتَحَبُّ اسْتِئْذَانُهَا ) أَيْ الْكَبِيرَةِ تَطْيِيبًا لِخَاطِرِهَا ، ( وَلَيْسَ لَهُ تَزْوِيجُ ثَيِّبٍ إلَّا بِإِذْنِهَا فَإِنْ كَانَتْ صَغِيرَةً لَمْ تُزَوَّجْ حَتَّى تَبْلُغَ ) ؛ لِأَنَّ الصَّغِيرَةَ لَا إذْنَ لَهَا ( وَالْجَدُّ كَالْأَبِ عِنْدَ عَدَمِهِ ) فِي جَمِيعِ مَا ذُكِرَ ، ( وَسَوَاءٌ ) ، فِيمَا ذُكِرَ فِي الثَّيِّبِ ( زَالَتْ الْبَكَارَةُ بِوَطْءٍ حَلَالٍ أَوْ حَرَامٍ ) كَالزِّنَا ( وَلَا أَثَرَ لِزَوَالِهَا بِلَا وَطْءٍ كَسَقْطَةٍ ) وَأُصْبُعٍ وَحِدَةِ حَيْضٍ ، ( فِي الْأَصَحِّ ) فَهِيَ فِي ذَلِكَ كَالْبِكْرِ لِبَقَائِهَا عَلَى حَيَائِهَا حَيْثُ لَمْ تُمَارِسْ أَحَدًا مِنْ الرِّجَالِ ، وَالثَّانِي أَنَّهَا كَالثَّيِّبِ فِيمَا ذُكِرَ فِيهَا لِزَوَالِ الْعُذْرَةِ ، وَالْمَوْطُوءَةُ فِي الدُّبُرِ كَالْبِكْرِ فِي الْأَصَحِّ ، ( وَمَنْ عَلَى حَاشِيَةِ النَّسَبِ كَأَخٍ وَعَمٍّ ) ، وَابْنِ كُلٍّ مِنْهُمَا ( لَا يُزَوِّجُ صَغِيرَةً بِحَالٍ ) ، أَيْ بِكْرًا كَانَتْ أَوْ ثَيِّبًا ؛ لِأَنَّهُ إنَّمَا يُزَوِّجُ بِالْإِذْنِ ، وَلَا إذْنَ لِلصَّغِيرَةِ ، ( وَتَزْوِيجُ الثَّيِّبِ الْبَالِغَةِ بِصَرِيحِ الْإِذْنِ ) لِلْأَبِ أَوْ غَيْرِهِ ، ( وَيَكْفِي فِي الْبِكْرِ ) الْبَالِغَةِ إذَا اُسْتُؤْذِنَتْ ( سُكُوتُهَا فِي الْأَصَحِّ ) لِحَدِيثِ مُسْلِمٍ { وَإِذْنُهَا سُكُوتُهَا } ، وَالثَّانِي لَا يَكْفِي لِمَنْ عَلَى حَاشِيَةِ النَّسَبِ كَالثَّيِّبِ ، ( وَالْمُعْتِقُ ) وَعَصَبَتُهُ ( وَالسُّلْطَانُ كَالْأَخِ ) فِيمَا ذُكِرَ فِيهِ

قَوْلُهُ : ( صَغِيرَةً أَوْ كَبِيرَةً ) عَاقِلَةً أَوْ مَجْنُونَةً ، وَسَيَأْتِي أَنَّهُ يُزَوِّجُ الْبِنْتَ الْمَجْنُونَةَ وَلَوْ صَغِيرَةً . قَوْلُهُ : ( بِغَيْرِ إذْنِهَا ) وَيُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الْعَقْدِ حِينَئِذٍ عَدَمُ عَدَاوَةٍ ظَاهِرَةٍ مِنْ الْوَلِيِّ لَهَا بِأَنْ يَطَّلِعَ عَلَيْهَا ، أَهْلُ مَحَلِّهَا ، وَكَوْنُ الزَّوْجِ كُفُؤًا وَمُوسِرًا أَيْ قَادِرًا عَلَى حَالِ الصَّدَاقِ لَيْسَ عَدُوًّا لَهَا وَلَوْ بَاطِنًا حَتَّى لَوْ تَبَيَّنَ شَيْءٌ مِنْ ذَلِكَ بَعْدَ الْعَقْدِ تَبَيَّنَ بُطْلَانُهُ ، وَيُشْتَرَطُ لِجَوَازِ الْإِقْدَامِ عَلَى الْعَقْدِ كَوْنُهُ بِمَهْرِ الْمِثْلِ مِنْ نَقْدِ الْبَلَدِ حَالًّا كُلُّهُ ، وَالْمُرَادُ بِنَقْدِ الْبَلَدِ مَا جَرَتْ الْعَادَةُ بِهِ فِيهَا ، وَلَوْ عُرُوضًا ، وَكَذَا يُقَالُ فِي الْحُلُولِ ، وَالْمُرَادُ بِقُدْرَتِهِ أَنْ يَكُونَ مَالِكًا لِقَدْرِهِ مِمَّا يُبَاعُ فِي الدِّينِ ، قَالَ شَيْخُنَا : وَإِذَا حَرُمَ الْإِقْدَامُ فَسَدَ عَقْدُ الصَّدَاقِ فَقَطْ ، وَالنِّكَاحُ صَحِيحٌ ، وَيَرْجِعُ إلَى مَهْرِ الْمِثْلِ ، وَفِيهِ نَظَرٌ إذَا كَانَ غَيْرُ نَقْدِ الْبَلَدِ أَكْثَرَ مِنْهُ قَالَ : وَإِذَا فُقِدَ شَرْطٌ مِنْ شُرُوطِ الصِّحَّةِ بَطَلَ النِّكَاحُ كَمَا مَرَّ ، وَفِيهِ نَظَرٌ أَيْضًا فِي نَحْوِ مَا لَوْ عَقَدَ لِمَنْ مَهْرُهَا مِائَةٌ بِمِائَتَيْنِ حَالَّتَيْنِ وَهُوَ قَادِرٌ عَلَى مِائَةٍ فَقَطْ فَرَاجِعْهُ .

[2] حاشية الجمل – (17 / 39)

أما المسألة الملفقة فصورتها كما نقله البرماوي في حاشيته على الغزي في فصل الرجعة نقلا عن العلامة الشيخ علي الأجهوري أن يزوج الصغير المطلقة ثلاثا لدى حاكم شافعي ويحكم بصحة النكاح لا بموجبه  زواجه مصلحة له ويجيب وليه بالإقرار فيزوجه ويدخل بها ثم بعد دخول الصبي بها يطلق عنه وليه لمصلحة تعود على الصبي ويحكم الحاكم المالكي أو الحنبلي بصحة ذلك وبعدم وجوب العدة بوطئه حكما كذلك ويشترط عند الحنبلي أن لا يبلغ الصبي عشر سنين وإلا وجبت العدة بوطئه ثم يتزوجها الزوج الأول لدى حاكم شافعي ويحكم بصحة النكاح وبحلها بوطء الصبي حكما كذلك وليس هذا من التلفيق الممتنع لوجود الحكم وحكم المالكي بالطلاق وعدم وجوب العدة صحيح وإن علم أنه يترتب عليه ما لا يجوز . لأن المعتمد أن حكم المالكي يحلل الحرام عند الغير أي كمذهبنا فإن حكم الحاكم في المسائل الاجتهادية يرفع الخلاف ويصير المسألة مجمعا عليها كما أفتى به الناصر اللقاني وكلام القرافي وابن عرفة عن المدونة يفيده وما يخالف ذلك لا يعول عليه انتهى ما نقله البرماوي مع زيادة وبعض تصرف والحق امتناع ذلك في زماننا وأنه لا يجوز ولا يصح العمل بهذه المسألة لأنه يشترط عندنا لصحة تزويج الصبي أن يكون المزوج له أبا أو جدا من قبله وأن يكون عدلا وأن يكون في تزويجه مصلحة للصبي وأن يكون المزوج للمرأة وليها العدل بحضرة عدلين فمتى اختل شرط من ذلك لم يصح التحليل لفساد النكاح قال ع ش على م ر عقب تلك الشروط ومنه يعلم أن ما يقع في زماننا من تعاطي ذلك والاكتفاء به غير صحيح لأن الغالب أو المحقق أن الذين يزوجون أولادهم بإرادة ذلك إنما هم السفلة المواظبون على ترك الصلوات وارتكاب المحرمات وتزويجهم أولادهم لذلك الغرض أعني التحليل لا مصلحة فيه للصغير بل هو مفسدة أي مفسدة وكثيرا ما يقع فيه أن المزوج للمرأة من غير أوليائها بأن توكل أجنبيا في عقد نكاحها ا هـ وأين العدالة في ولي كل من الصبي والمرأة والشهود المصححة لنكاح الصبي حيث يترتب عليه صحة ما بعده من حكم الحاكم المالكي أو الحنبلي وأين الحكم الرافع للخلاف المشترط في صحته تقدم دعوى صحيحة وقد سبرنا فوجدنا القاضي المالكي أو الحنبلي لم يوجد منه حكم مرتب على دعوى صحيحة .

[3] مغني المحتاج إلى معرفة ألفاظ المنهاج – (8 / 290)

وَقَدْ شَرَعَ فِي شَرْطِ الرُّكْنِ الْأَوَّلِ . فَقَالَ : ( شَرْطُ الْمُوَكِّلِ صِحَّةُ مُبَاشَرَتِهِ مَا وَكَّلَ ) بِفَتْحِ الْوَاوِ ( فِيهِ ) وَهُوَ التَّصَرُّفُ الْمَأْذُونُ فِيهِ ( بِمِلْكٍ ) كَتَوْكِيلِ نَافِذِ التَّصَرُّفِ فِي مَالِهِ ( أَوْ وِلَايَةٍ ) كَتَوْكِيلِ الْأَبِ أَوْ الْجَدِّ فِي مَالِ مُوَلِّيهِ فَلَا يَصِحُّ تَوْكِيلُ صَبِيٍّ وَلَا مَجْنُونٍ ( الشَّرْحُ ) ( فَلَا يَصِحُّ تَوْكِيلُ صَبِيٍّ وَلَا مَجْنُونٍ ) وَلَا مُغْمًى عَلَيْهِ وَلَا نَائِمٍ فِي التَّصَرُّفَاتِ وَلَا فَاسِقٍ فِي نِكَاحِ ابْنَتِهِ ، إذْ لَا تَصِحُّ مُبَاشَرَتُهُمْ لِذَلِكَ ، فَإِذَا لَمْ يَقْدِرْ الْأَصْلُ عَلَى تَعَاطِي الشَّيْءِ فَنَائِبُهُ أَوْلَى أَنْ لَا يَقْدِرَ ، وَاحْتَرَزَ بِالْمِلْكِ وَالْوِلَايَةِ عَنْ الْوَكِيلِ فَإِنَّهُ لَا يُوَكِّلُ عِنْدَ الْإِطْلَاقِ عَلَى تَفْصِيلٍ يَأْتِي فَإِنَّهُ لَيْسَ بِمَالِكٍ وَلَا وَلِيٍّ .

إعانة الطالبين – (ج 3 / ص 367)

(قوله: وإن لم يعين المجبر الزوج) أي يجوز توكيل المجبر في التزويج وإن لم يعين للوكيل الزوج: كأن قال له وكلتك في تزويج بنتي، وذلك لان وفور شفقته تدعوه إلى أن لا يوكل إلا من يثق بنظره واختباره، ولا ينافيه اشتراط تعيين الزوجة لمن وكله أن يتزوج له لانه لا ضابط له فيها يرجع إليه بخلافه في الزوج فإنه يتقيد بالكف

ejarah Berdirinya Mesjid Agung Syuhada - Pelaihari

S



I. SEJARAH PENDIRIAN

Mesjid agung syuhada dulunya bernama mesjid Jami Syuhada, sebelumnya dibangun di Jalan Pusaka ditepi danau, berupa bangunan sederhana dengan kontruksi semi permanent dari bahan kayu ulin dan papan (sekarang lokasinya menjadi tempat tinggal “kaum mesjid”).

Mesjid Jami syuhada dulu berfungsi selain untuk tempat peribadatan tetapi juga berfungsi sebagai tempat berkumpulnya para pejuang pergerakan kemerdekaan, hal itulah yang melatarbelakangi penamaan mesjid “SYUHADA” yang mengartikan bahwa berjuang tanpa pamrih demi Negara dan agama.

Pada awal tahun 1935 berkumpul tokoh – tokoh pemuka agama dan masyarakat untuk membicarakan rencana pembangunan mesjid yang lebih besar guna memenuhi tuntutan jemaah yang semakin banyak. Beberapa nama yang tercatat sebagai pelopor pembangunan mesjid jami syuhada pada masa itu adalah (sesuai dengan tugasnya)
Bidang Tugas Fatwa

1. H. Mansyur

2. H. Jafri

3. H. A. Nawawi

4. H. A Gani

5. H. Asmail

6. H. Ramli

7. H. Matran

8. H. Anang Sukri

9. H. A. Hamid


Bidang Tugas Dana

1. Sidik (Mewakafkan tanah untuk lokasi bangunan mesjid)

2. H. A. Syukur

3. H. Khalid

4. H. Anang Tuah

5.




Penyedia material untuk bangunan mesjid

H. Bakri

6. H. Hasyim

7. H. Anang Dulkadir

8. Hasbullah

9. H. Nunci



Secara tepatnya belum diperoleh data tanggal berdirinya mesjid jami syuhada, hanya dapat dipastikan mesjid ini didirikan pada bulan – bulan awal tahun 1935 yaitu antara bulan maret – Juni 1935

















II. PERIODE PENGURUSAN
Periode 1935 – 1945

Penasehat

Ø H. Jafri

Ø H. Mansur

Ø H. A. Syukri

Ø H. Asmail

Ø H. A. Gani

Ø Sidik

Ø Matran



Pengurus

Ø Ketua : H. A. Nawawi

Ø Wk Ketua : H. Ramli

Ø Sekretaris : Yusuf Azidin

Ø Wk Sekretaris : H. Zainal Akli

Ø Bendahara : H. Khalid

Ø Wk Bendahara : H. A. Syukur



Hasil Kerja :

Mendirikan mesjid jami syuhada, sekaligus mendirikan 4 (empat) buah tiang guru. Tiang guru ini dibawa dari desa jilatan dengan panjang 40 meter, dibawa dengan ditarik secara massal dengan pola estafet, dari setiap desa yang dilalui., dengan memakan waktu selama 3 (tiga) hari.

Pada masa periode kepengurusan ini berhasil mendirikan mesjid di kota pelaihari yang berukuran 20 x 20 m, dengan luas ruang utama 16 x 16 m, kontruksi semi permanent, tiang ulin, atap sirap lantai dan dinding papan.


Periode 1945 – 1949

Penasehat :

Ø H. Asmail

Ø H. A. Nawawi

Ø H. Abd Hamid

Ø H. Bakri

Ø H. Akhmad



Pengurus

Ø Ketua : H. Materan

Ø Wk Ketua : H. A. Syukur

Ø Sekretaris : Marzuki

Ø Wk Sekretaris : H. Hairani

Ø Bendahara : H. A Tuah

Ø Wk Bendahara : Dislan





Hasil Kerja

Merubah kontruksi lantai papan sebagian menjadi lantai beton, dan sebagian masih ditimbun dengan tanah urug. Hal ini disebabkan pada masa ini bangsa Indonesia difokuskan pada perjuangan fisik dan proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia.


Periode 1949 – 1952

Penasehat

Ø H. A. Nawawi

Ø H. A. Kusasi

Ø H. Ramli

Ø H. Bakri

Ø H. A. Hamid



Pengurus

Ø Ketua : H. Hasyim

Ø Wk Ketua : H. Materan

Ø Sekretaris : Bustan HB

Ø Wk Sekretaris : H. Hairani

Ø Bendahara : H. A. Syukur

Ø Wk Bendahara : H. A. Tuah



Hasil Kerja

Pada periode ini menyempurnakan pondasi tanah secara bertahap menjadi lantai beton dan menyempurnakan bagian atas dengan dipasangi sirap.


Periode 1952 – 1968

Penasehat

Ø H. Ahmid

Ø H. A. Kusasi

Ø H. Ramli

Ø H. A. Jebar

Ø Fransyah



Pengurus

Ø Ketua : H. A. Syukur

Ø Wk Ketua : H. Dislan

Ø Sekretaris : Hasbulah

Ø Wk Sekretaris : Marjuki HS

Ø Bendahara : H.A. Tuah

Ø Wk Bendahara : H. Nunci











Hasil Kerja

Pada periode ini adalah kepengurusan yang cukup lama, panitia berhasil menyempurnakan bentuk induk, memasangkeramik lantai dan menyempurnakan dinding ulin, membuat pendopo mesjid dan pengecetan. Selain itu juga mampu membangun sebuah rumah untuk petugas mesjid disebelah barat bangunan mesjid.

Sampai berakhir kepengurusan periode ini, mesjid jami syuhada secara fisik sudah mengalami kesempurnaan.


Periode 1968 – 1972

Penasehat

Ø H. Ramli

Ø H. A. Jebar



Pengurus

Ø Ketua Umum : H. Nunci

Ø Ketua I : H. Suriansyah

Ø Ketua II : H. Mahmud

Ø Sekretaris I : H. Baidilah

Ø Sekretaris II : Masani Abda

Ø Bendahara I : H. Dislan

Ø Bendehara II : H. A. Samad



Hasil Kerja

Pada periode kepengurusan ini hanya melakukan perbaikan dan pemeliharaan.


Periode 1972 – 1975

Penasehat

Ø H. Dislan

Ø H. Nunci

Ø M. Zubaidi



Pengurus

Ø Ketua : Masani Abda

Ø Wk Ketua : Johansyah

Ø Wk Ketua : H. Masdar

Ø Sekretaris I : Umar Hamdan

Ø Sekretaris II : Roomsani Hajas

Ø Bendahara : H. Kadehi

Ø Seksi Keuangan : H. Mahmud

Ø Seksi Pembangunan : H. Suriansyah

Ø Seksi Perlengkapan : Kustami

Ø Seksi Kemakmuran : A. Hamid Rasjidi

Ø Seksi Kebersihan : Suriansyah G



Hasil Kerja

Pada masa ini mesjid syuhada mendapat bantuan dari Gubernur Tk I Propinsi Kalimantan Selatan berupa mesin listrik / generator merk Honda.


Periode 1976 – 1981

Penasehat

Ø Bupati Tanah laut

Ø Dandim 1009 Tala

Ø Dan Dis Tala

Ø Kepala Kejaksaan Tala

Ø Ketua Pengadilan Negeri Pelaihari

Ø Pimpinan DPRD

Ø Kepala Kantor Depag Tala



Pengurus

Ø Ketua I : Nawawi Asmail

Ø Ketua II : H. A. Hamid Rasjidi

Ø Ketua III : Bahktiar Effendi

Ø Sekretaris I : Tuhalus

Ø Sekretaris II : Fahrinsyah

Ø Bendahara : H. M. Tasri

Ø Seksi Usaha Dana : H. Sumari

Ø Seksi Kemakmuran : A. Gazali

Ø Seksi Perlengkapan : H. Kadehi

Ø Seksi Kebersihan : Suriansyah G



Hasil Kerja

Pemindahan tempat wudhu dari halaman muka mesjid ke bagian belakang mesjid (sebelah barat)


Periode 1981 – 1984

Pelindung

Ø Bupati Tanah Laut

Ø Unsur Muspida

Ø Pimpinan DPRD

Ø Kepala Kantor Depag Tala



Penasehat

Ø Camat Pelaihari

Ø Ketua BKM Depag

Ø H. Suriansyah

Ø H. Hasan

Ø H. Suhaimi, Lc









Pengurus

Ø Ketua : H. M. Afham

Ø Wk Ketua : H. Bakhtiar Effendi

Ø Sekretaris : H. Sumari

Ø Wk Sekretaris : Fakhrinsyah

Ø Bendahara : H.Yusuf A.K

Ø Wk Bendahara : H. Hamdan

Ø Usaha Dana : H. Kursani

Ø Kemakmuran : H. Baidillah

Ø Perlengkapan : Ira Johansyah

Ø Kebersihan : H.M Saleh

Ø Remaja Mesjid : Syafriansyah



Hasil Kerja

Melakukan perbaikan berat pada bagian atas, mengganti atap sirat dengan atap seng. Kubah atap yang menampilkan khas banjar diganti dengan kubah melingkar terbuat dari seng




Periode 1985 – 1987

Pelindung

Ø Bupati Tanah Laut

Ø Unsur Muspida

Ø Pimpinan DPRD



Penasehat

Ø Kepala Kantor Depag Tala

Ø Camat Pelaihari



Pengurus

Ø Ketua : H. Choldani HAS

Ø Wk Ketua I : Drs. Yuhyil Husna HAN

Ø Wk Ketua II : Jailani Ibus

Ø Sekretaris I : Tuhalus

Ø Sekretaris II : Aspul Anwar

Ø Bendahara I : H. Kadehi

Ø Bendahara II : Syafriansyah

Ø Usaha Dana : H. Kursani

Ø Kemakmuran : H. Syahbudin BA

Ø Perlengkapan : Muslim

Ø Kewanitaan : H. Noor Sabah

Ø Remaja Mesjid : Drs. H. Yuhyil Husna HAN



Hasil Kerja

Penambahan ruangan baru dengan membangun tambahan ruang bertingkat dua pada bagian sebelah timur mesjid. Bangunan tersebut dengan luas 400 m2


Periode 1987 – 1988

Pelindung

Ø Bupati Tanah Laut

Ø Unsur Muspida

Ø Pimpinan DPRD



Penasehat

Ø Kepala Kantor Depag Tala

Ø Camat Pelaihari



Pengurus

Ø Ketua : Drs. Yuhyil Husna HAN

Ø Wk Ketua I : Jailani Ibus

Ø Wk Ketua II : H. Kursani

Ø Sekretaris I : Tuhalus

Ø Sekretaris II : Aspul Anwar

Ø Bendahara I : Syafriansyah

Ø Bendahara II : H. Anwar

Ø Usaha Dana : H. Bahrun Noor

Ø Kemakmuran : H. M. Saleh

Ø Perlengkapan : Mualim

Ø Kewanitaan : H. Noor Sabah

Ø Remaja Mesjid : Anang Bahran



Hasil Kerja

Pemeliharaan rutin.


Periode 1988 – 1990

Pelindung

Ø Bupati Tanah Laut

Ø Unsur Muspida

Ø Pimpinan DPRD



Penasehat

Ø MUI Tanah Laut

Ø Ulama / Tokoh masyarakat



Pengurus

Ø Ketua : H. Humaidi

Ø Wk Ketua I : H. Habli

Ø Wk Ketua II : H. Hamdi

Ø Sekretaris I : M. Yamani

Ø Sekretaris II : Khairuji

Ø Bendahara I : Syamsuri Hasbulah

Ø Bendahara II : H. Anwar

Ø Pembangunan : H. Bahrun Noor

Ø Ta’mir : Aspiani

Ø Perlengkapan : M. Yusuf Utih

Ø Kewanitaan : H.Raisah

Ø Remaja Mesjid : Ibrodi

Ø Usaha Dana : H. Tijansyah



Hasil Kerja

Merombak kembali kubah mesjid, yang sebelumnya berbentuk bundar dikembalikan ke bentuk yang lama, dan Perbaikan bangunan untuk imam



III. PENUTUP

Demikian sejarah singkat terbangunnya mesjid jami syuhada yang sekarang berubah menjadi mesjid agung syuhada.